Bisnis Ritel Perlu Transformasi Menjadi E-Commerce Berbasis Big Data

 16 Maret 2019   

-

Hadapi tren ekonomi digital dan fenomena disrupsi, bisnis ritel perlu bertransformasi menjadi E-Commerce yang berbasis Big Data dan berorientasi pada segmen pasar milenial dengan mengombinasikan inovasi yang diturunkan dari konsep leisure economy.

Demikian terungkap dalam Hipmi Sharing "Peluang dan Tantangan Pasar Retail 2019" yang digelar Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Badung, Sabtu (15/3) malam yang menghadirkan 2 narasumber; yakni pengusaha retail I Gede Agus Hardiawan dan I Nengah Natyanta di Badung.

Gede Agus Hardiawan yang dikenal dengan sebelumnya dikenal pemilik Hardys Group Holdings identik berkiprah di bisnis ritel hingga mewabah di beberapa daerah di Bali dan Jawa mengatakan fenomena disrupsi atau gangguan dari perkembangan teknologi yang melahirkan market place mengakibatkan perubahan pola dan orientasi dalam bisnis retail diantaranya, hilangnya rantai pasar ritel konvensional dari sebelumnya 'produsen-distributor nasional-distributor lokal-grosir-konsumen' menjadi 'produsen-market place-konsumen'. Selain itu segmen pasar yang dibidik utamanya adalah milenial yang rata-rata melek dengan teknologi atau gawai (gadget).

Perubahan berikut, menurutnya adalah orientasi valuasi perusahaan yang semula dari uang bergeser pada big data. Sebagai contoh, Gojek sebagai perusahaan platform digital yang awalnya bergerak di bidang tranportasi tidak memiliki aset namun dalam perkembangannya mempunyai valuasi tinggi sebesar Rp.75 triliun atau setara dengan 12 kali lipat valuasi Garuda Indonesia yang hanya sebesar Rp6 triliun.

Lalu, lanjutnya berdasarkan data statistik pertumbuhan pasar E-Commerce di Indonesia sebesar 78% per tahun, tertinggi di dunia setelah Mexico 59%, Filipina%, Kolombia 45% merupakan pasar yang potensial bagi perkembangan market place di dunia. "Kedepan, fenomena disrupsi juga diprediksi mengakibatkan 7 sektor bisnis akan mengalami sunset atau surut berguguran, salah satunya sektor bisnis ritel dimana contohnya adalah grup Hardys sendiri yang mengalami bankruptcy," akunya.

Selain tantangan, Gede Hardi melihat peluang besar Bali di dunia pariwisata yang telah diakui internasional sebagai destinasi wisata terbaik ke-4 versi Trip Advisor dan World Best Island Destination. Mengacu data dari Kementrian Pariwisata, kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali tahun 2018 lalu mencapai 6,1 juta turis sedangkan wisatawan domestik sebesar 4 juta. Dengan potensi pertumbuhan kunjungan wisatawan 12,58% per tahun, Kemenpar menargetkan pada 2025 mendatang ada sekitar 10 juta wisman datang ke Bali. 

Berkaca dari peluang inilah, bisnis ritel di Bali tumbuh menggeliat dibanding segmen lokal dengan mengandalkan lokasi di sekitaran pusaran pariwisata seperti hotel atau objek wisata. Inilah kemudian yang merupakan terjemahan dari konsep leisure economy

Berbeda dengan Hardys, Nengah Natya selaku pemilik Coco Group cukup optimis dengan bisnis retail kedepan dengan syarat harus berinovasi terus mengehadapi perubahan selera pasar yang demikian cepat. Konsep yang ditawarkan adalah selain memuat aspek 5 P yakni (property, product, place, people, promotion) adalah membuat nyaman suasana usaha retail sedemikian rupa dengan adanya tambahan kuliner, coffe shop, wifi dan lain-lain. Kendati demikian, ia tidak menafikkan sektor e-commerce, dengan satu sama lain mengisi baik pasar offline dan online.

Akhirnya, Alumni Senior Hipmi Gede Sumarjaya Linggih menegaskan bahwa kedepan terdapat 2 lini ekonomi yang memegang kendali yaitu digital economy dan leisure economy. Dengan mengolaborasikan 2 terapan ekonomi tersebut, menurutnya niscaya kesuksesan di depan mata. 

Sumber : https://www.beritabali.com/

TAGS :